ESTETIKA
Estetika
adalah hal ikwal yang berkaitan dengan konsep keindahan. Tulisan A.A.M.
Djalantik dalam bukunya Estetika Sebuah Pengantar sebagai
berikut.
Apa
itu keindahan ?. sebelum kita mulai mencoba menelaah apakah yang dimaksud
dengan keindahan, ada baiknya kita meninjau lebih dahulu kenyataan-keyatan mana
yang kita sebut indah dan rasakan sebagai indah. Ada bermacam-macam hal yang indah dalam dua
golongan, yaitu:
Pertama,
keindahan alami. Keindahan yang tidak dibuat oleh manusia. Misalnya gunung, laut,
pepohonan, bunga, kupu-kupu. Atau barang-barang yang memperoleh wujud indah
akibat peristiwa alam. Seperti pulau tanah lot, yang memperoleh bentuknya
akibat pukulan-pukulan ombak laut berabad-abad lamanya, lereng – lereng bukit
yang terbentuk indah oleh air hujan, sungai yang mengiris tanah menjadi jurang
dalam bertebing curam seperti di Banjarangkan atau negari Sihanok di Bukit
Tinggi. Di samping keindahan alam yang dirajut oleh binatang seperti serang
burung manyar.
Keindahan
alam dapat kita nikmati saat matahari terbit atau terbenam, saat melihat
perpaduan bentuk-bentuk awam, warna langit dan jatuhnya sinar matahari, yang
mempertegas benda-benda yang disinari dengan warna-warni yang mempesona.
Keindahan bunga anggrek, mawar, kembang sepatu, juga bisa menggugah perasaan
manusia.
Keindahan
bentuk makluk hidup ciptaan Tuhan, seperti kuda, ayam, sapi, menjangan,
bermasam-macam burung, berbagai anjing ras, berbagai jenis ikan (terutama ikan
hias), dan tumbuh manusia seperti yang keindahannya telah dimuliakan dalam
kesenian Yunani sejak beberapa abad sebelum Masehi – juga termasuk hal-hal
indah alami, yang tidak dibuat oleh manusia. Keindahan tubuh manusia dikemuakan
kembali dalam masa renaissance (pencerahan) di Eropa; dan sejak itu
selalu diabadikan oleh para seniman dalam karya-karyanya (senmi lukis, seni
patung). Masa kini kita sering menikmati keindahan tubuh dan gerak manusia
sewaktu menyaksikan oleh raga, senam, dan seni tari.
Kedua,
hal-hal indah yang diciptakan dan diwujudkan oleh manusia mengenai keindahan
barang-barang buatan manusia secara umum kita menyebutnya sebagai barang
kesenian. Barang-barang demikian disebut barang kerajian tangan. Sebutan ini
sama sekali tidak menyangkut penilaian tentang keindahan barang-barang itu,
penyebutan ini hanya bermaksud menggolongkan jenis barang indah tersebut.
Perbedaannya adalah barang kesenian ada maksud dari sang pencipta untuk
menuangkan perasan di dalamnya atau suatu pesan tertentu, sementara barang
kerajian tangan mempunyai manfaat praktis disamping dibuat untuk menarik dan
memberikan kepuasan rasa indah belaka. Dengan kata lain, sebutan yang berbeda
mengacu pada maksud dan prosesi penciptaan dan perwujudan barang-barang
tersebut.
Pada
umumnya apa yang kita sebut indah di dalam jiwa kita dapat menimbulkan rasa
senang, rasa puas, rasa aman nyaman dan bahagia, dan bila perasaan itu sangat
kuat, kita merasa terpaku, terharu, terpesona, serta menimbulkan keinginan
untuk mengalami kembali perasaan itu walaupun sudah dinikmati berkali-kali
(dalam bahasa bali Kelangen).
PENGERTIAN
ESTETIKA
Dick
Hartoko dalam bukunya Manusia dan Seni (1986: 15-17 ) mengemukakan
perihal estetika, yang meliputi pengertian dan juga asal kata dari istilah
tersebut. Istilah anaestesi itu terdiri atas dua bagian: “an” yang berarti
“tidak” dan aesthesis’ berarti yang berarti “perasan, pencerapan, persepsi”
jadi tugas ahli anaesthesi itu supaya pasien pada waktu ia dibedah, tidak
merasakan sakit, tidak sadar diri.
Kata “aesthesis” berasal
dari bahasa Yunani dan berarti pencerapan, persepsi, pengalaman, perasaan,
pemandangan. Kata ini untuk pertama kali dipakai oleh Alexander Gottlieb
Baumgarten (1714-1762), seorang filsuf Jerman, menguraikan tentang cabang
filsafat yang melingkupi realitas seni dan keindahan. Paparan tentang pemahaman
estetika tersebut dikemukakan dalam buku berjudul Meditationes Philosophicae
de Nomullis ad Poema Pertinentibus (1735). Karya tersebut diterjemahkan
dalam edisi bahasa inggris berjudul Reflections on Poetry (1954).
Baumgarten
masih memasukkan pengalaman tentang keindahan dalam ilmu pengetahuan, namun ia
tokoh merasakan perlunya untuk menciptakan sebuah istilah tersendiri guna
menunjukkan bahwa pengetahuan ini lain dari yang lain, berbeda dengan
pengetahuan akal budi semata-maka. Semenjak Kant, bahwa pengetahuan tentang
keindahan atau pengalaman estetik tidak dapat ditempatkan di bawah payung
logika atau etika, namun istilah estetika tetap dipertahankan, dan yang
dimaksudkan dengan istilah itu ialah cabang filsafat yang berurusan dengan
keindahan, entah menurut realisasinya (dalam sebuah karya seni) entah menurut
pengalaman subyektif. Maka Alexander Gottlieb Baumgarten mengembangkan filsafat
estetika yang didefinisikannya sebagai ilmu pengetahuan tentang keindahan
dituangkan melalui karyanya yang berjudul Aesthetica Acromatica
(1750-1758) (Paper, 1996: 67)
Apakah sebelum
Baumgarten para filsuf dan pujangga tidak berpikir-pikir tentang keindahan atau
seni ? tentu saja tidak. Tetapi istilah-istilah yang mereka pakai lebih umum
sifatnya. Aristoteles, filsud yang pernah menjadi guru Iskandar Agung,
mempergunakan istilah Poetika. Kemudian hari muncul istilah-istilah seperti
“ars” (seni) dan “humaniora” yang dinegara-negara yang berbahasa inggris masih
dijunjung tinggi sebagai jurusan The Humanities (yang menjadi orang muda
lebih manusiawi). Para Kawi zaman dahulu memakai kata Kalangwan atau
Lango. Menurut professor zoetmulder, tak ada satu bahasa yang demikian kaya
akan istilah-istilah untuk mengungkapkan pengalaman estetik itu seperti bahasa
Jawsa Kuno. Bahkan dalam kalangan para penyair itu keindahan dan pengalaman
estetik dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari surga, yang pantas di sambut
dengan sikap religius dan kebaktian “a real cult of beauty”, bahkan
membuat seni, menggubah sebuah syair dianggap sebagai sesuatu tindakan
kebaktian.
Di atas tadi telah saya
kutip sekedar definisi tentang estetik, yaitu cabang filsafat yang berususan
dengan keindahan, entah menurut realisasinya entah menurut pengalaman
subjektif. Sebetulnya lalu harus diteangkan di sini adalah filsafat itu. Tetapi
itu akan membawa kita terlalu jauh dari kancah perhatian kita. Para peminat dapat misalnya membaca karangan van Peursen:
Orientasi di Alam Filsafat (1982, cet. 3) atau Jujun Suria Sumantri: Ilmu
dalam Perspektif (1982). Cukuplah di sini saya kutip sebuah definisi
klasik, yaitu filsafat merupakan suatu cabang pengetahuan yang ingin
menerangkan tentang semua yang ada atau yang dapat ada menurut sebab musabab
yang paling dalam sejauh sebab musabab itu dapat diraih dengan akal budi saja
(dan tidak dengan wahyu Tuhan misalnya). Berbeda dengan ilmu, khususnya sains,
ialah: sains membatasi diri pada apa yang dapat diukur dan dihitung ,
sedangkan filsafat ingin melihat atau mengerti apa yang tersembunyi di belakang
gejala-gejala yang nampak itu.
Gejala keindahan dapat
juga didekati dari sudut sains. Sebuah lukisan misalnya dapat kita analisa
menurut pembagian bidang. Jadi menurut matematika. Kompisisi warna dapat kita
analisa secara eksperimental menurut efek psikologis. Sebuah karya musik dapat
kita analisa menurut jumlah getaran nada sehingga dapat ditampilkan dalam
sebuah grafik atau bahkan dianalisa dengan sebuah komputer.
Tetapi semua pendekatan
dan analisa ilmiah itu hanya memusatkan perhatiannya kepada sebagaian dari
kenyataan yang kita sebut keindahan dan seni, sedangkan estetika sebagai
filsafat justru ingin melihat segala aspek itu dalam suatu keseluruhan dan
khususnya dalam hubungan dengan manusia sebagai suatu keseluruhan.
Wadjiz Anwar L.Ph. juga
menguraikan secara singkat tentang estetika dalam bukunya yang berjudul: Filsafat
Estetika (1985: 9-10) sebagai berikut.
Estetika dalam arti teknis ialah
ilmu keindahan, ilmu mengenal kecantikan secara umum. Kitra memandang alam
disekeliling kita dan kita menjumpai keindahan dan kecantikan terdapat
dimana-mana. Keindahan pemandangan pohon bamboo yang menjulan di atas desa-desa
negeri kita. Keindahan laut yang membentang ditepi pantai. Suarapun mempunyai
keindahan. Gerak langit dan gerak penaripun ada keindahan nya. Di samping
keindahan yang terdapat di dalam alam itu kita sebagai manusia juga membuat
beberapa keindahan yang kita tuangkan di dalam karya-karya seni. Kita merasakan
keindahan-keindahan itu dan menikmatinya. Akan tetapi dengan demikian itu kita
belum menjadi ahli-ahli estetika. Estetika bukanlah cara untuk menikmati
keindahan, akan tetapi usaha-usaha untuk memahaminya.
Estetika berasal dari kata bahasa
Yunani aesteis, berarti perasaan atau sensitivitas. Ini karena keindahan itu
memang erat sekali hubungannya dengan lidah dan selera perasaan, atau apa yang
disebut dalam bahasa jerman “Geschmack” atau dalam bahasa Inggris “teste”. Akan
tetapi pada masa sekarang kita itu diartikan segala pemikiran filosofis tentang
seni. Estetika timbul tatkala pemikiran filsud terbuka untuk menyedidiki dan
hatinya terbuka untuk mengecap rasa terharu, demikian kata Paul Valery.
Estetika bersama dengan ethika dan logika membentuk tritunggal ilmu-ilmu
nonmatif di dalam filsafat. Maka barangkali akan lebih tepat bila kita kutif
kata-kata Hegel: filsafat seni membentuk bagian yang penting sekali di dalam
struktur filsafat”.
Soedarso Sp. (1987: 31-34) Dalam
bukunya “Tinjauan seni” menguraikan tentang topik “Seni dan Keindan”, sebagai
berikut.
Dalam hal memperesoalkan tentang perihal
keindahan, ada dua kategori yang saling bertentangan. Yang satu adalah
pandangan subyektif yang memandang keindahan terletak pada diri orang yang
melihat (“beauty is in the eye of the beholder”). Sedang yang satu lagi
obyektif sifatnya, menempatkan keindahan pada barang yang kita lihat. Suatu
waktu sokraters mengatakan bahwa keindahan adalah segala sesuatu yang
menyenangkan dan memenuhi keinginan terakhir. Jelaslah bahwa pendapat seperti
ini tergolong dalam kategori pertama yang subyektif. Yang indah adalah yang
mendatangkan rasa senang, dan kalau kita pinjam rumusan Kant (1724-18-4) yang
hidup jauh lebih kemudian dari Sokrates, yang indah adalah yang menyenangkan
tanpa pamrih dan tanpa adanya konsep-konsep tertentu. Maksudnya, kita begitu
saja merasa senang tanpa alasan lain kecuali melihat atau mendengar sesuatu.
Jelasnya kita merasa senang ketika memandang seorang gadis cantik, bukan karena
gadis itu adalah tetangga kita yang baik, dan bukan pula karena kita telah
cocok dia dengan resep-resep tertentu, misalanya karena kita telah melihat
bahwa pipinya seperti pauh dilayang, dagunya seperti lebah bergantung, dan
seterusnya. Begitu kita lihat, kita merasa senang.
Teori subyektif tersebut susah kita
pakai untuk menentukan kenapa kita senang akan sekuntum bunga mawar yang sedang
mekar, sedang bagi teori yang obyektif yang menempatkan keindahan pada
obyeknya, mesti nyua adalah sifat-sifat tertentu pada bunga itu yang menjadikan
kita senang. Santo Augustinus (354-430) mendefinisiakn keindahan sebagai kesatuan
bentuk (omnis pulcritudinis forma unitas est) dan Thomas Aquinas
(1225-1274) yang rupanya banyak mengilhami Ki Hadjar dewantara , menyaratkan
tiga, hal untuk bisa disebut indah, ialah (1) andanya integritas atau perfeksi;
(2) proposi yang tepat atau harmonis; dan (3) adanya klaritas atau kejelasan.
Dan di jaman modern , Harbert read menulanginya dengan ungkapan bahwa keindahan
adalah kesatuan hubungan bentuk-bentuk.
Jadi menurut teori obyuektif,
kesenangan kita terhadap bunga yang mekar itu adalah karena padanya terdapat
kesatuan hubungan bentuk-bentuk , misalnya lenkungan-lengkungan pada pinggir
helaian-helaian mahkota bunga tersebut yang jalin-menjalin membentuk sebuah
susuan yang baik. Bayangkan, kita akan kecewa sekiranya salah satu helaiannya
patah, yang berarti mementuk unsur yang tidak serasi lagi dengan deretan
unsur-unsur lainnya.
Kalau saja kita dapat menerima
pandangan Harbert Read yang obyektif ini, barangkali kita akan dapat juga
menangkap. Kepanap yang jorok-jorok di atas boleh pula dibilang indah. Dasar
pertama adalah bahwa keindahan itu terletak pada obyeknya (tidak pada diri yang
melihat). Karena pada obyek tersebut terdapat suatu kualitas tertentu. Dan bagi
Kant yang menandang manusia ini memiliki kemampuan untuk membuat keputusan
tanpa reasoning dan menimbulkan kesenangan tanpa pamarih (urteil ohne
Begriff und Vergnugen aahne Begehen). Maka kualitas tertentu tersebut tidak
harus dihubungkan dengan apa-apa . Maka yang jorok tidak akan terasa jorok,
karena yang menjadikan jorok tersebut adalah asosiasi kita dengan keadaan yang
sebenarnya, karena kita menghubungkan bentuk-bentuk dalam gambaran itu dengan
bentuk yang pernah kita lihat di alam. Begitupun gambara ellips
misalnya, bisa menjadi gambar telur hanya karena kita telah penah melihatnya,
dan bisa juga ia menjadi batu atau apa saja yang lain lagi.
Baumgarten (1714-1762) seorang filsuf
Jarman, membedakan adanya tiga kesempurnaan di dunia ini, yaitu (1) Kebenaran,
ialah kesempurnaan yang bisa kita tangkap dengan rasio; (2) Kebaikan,
kesempurnaan yang kita tangkap dengan moral kita; dan (3) keindahan, adalah
kesempurnaan yang kita tangkap dengan indra kita (perfectio coqnitionis
sensitivae, qua talis). Ini menambah lagi alasan, kanapa yang jorok visa
indah, karena fasilitas penangkapannya berlainan, indahnya lukisan harus
ditangkap dengan mata, tidak dengan moral, menurut bahasa Monet, sang pelopor
impresionisme itu “lukisan memasanlahkan bentuk tidak memasalahkan isi”
Namun di fihal lain akan terdengar
pertanyaan, bisakan kita memisahkan segenap fasilitas yang ada pada diri kita
ini satu-satu?. Manusia secara keseluruhan punya kemampuan melihat, merasakan,
mengingat, menghubungkan, dan sebagainya. Pada suatu saat apakah
kemampuan-kemampuan itu bicara sendiri-sendiri atau bersama-sama?.
Yayah
Khisbiyah (2002: 1), Ketua Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas
Muhamadiyah Surakarta pada salah satu artikel yang berjudul Seni dan
Psikologi, mengemukakan tentang hal ikwal keindahan sebagai berikut.
Keindahan (beauty) adalah pengalaman yang memberik
manusia rasa kegembiraan dan rasa kedamaian sekaligus. Keindahan bersifat
menenangkan dan pada saat yang sama ia juga dinamis, menstimulasi kegairahan
dan meningkatkan rasa hidup manusia. Kindhanan adalah mistri yang mempesona
manusia karena ia merupakan pengalaman yang bersifat timelessness dan bederajat
lebih tinggi dari kemanusiaan itu sendiri.
Berkaitan
dengan hal tersebut Dick Hartoko juga memaparkan tentang perihal seni yang
tidak indah dalam bukunya berjudul Manusia dan Seni sebagai berikut.Sifat umum
yang dewasa ini sering nampak dalam kesenian dunia Barat tak lain dan tak bukan
ialah usaha untuk menimbulkan efek “shock”, memperhatikan rasa frustrasi dan
kejenuhan yang dirasakan oleh sang seniman dan….sebagian masyarakt. Baik dalam
seni sastra, seni drama maupun seni pahat dan seni film, dimana – mana kita
jumpai gejala-gejala serupa itu.
“shock” menggungcangkan
yang dulu dianggap mapandan stabil, meleparkan batu ke kaca-kaca yang
melindungi harta nilai-nilai tradisional, dengan sengaja menertawakan dan
mencemoohkan apa yang oleh angkatan-angkatan dulu dianggap suci dan keramat,
memberontak terhadp tat tertib yang dulu tak pernah diragu-ragukan serta
membubuhkan tanda Tanya di belakang setiap pernyataan dan ucapan.
Gejala pustasi nampak
dari suasana keabu-abuan yang meliputi banyak karya seni kontemporer; rupanya
tak ada gairah, ditonjolkan tanpa emosi, secara factual saja. Sebelum Perang
Dunia II dosa masih diperlihatkan sebagai sesuatu yang memang dilarang, tetapi
toh ada segi-segi yang indah, yang membebaskan, sebgai ekspresi gaya hidup vital. Tetapi
sekarang sering digambarkan sebagai sesuatu yang menjemukan, ditonjolkan dalam
kejelekan, dengan sengaja dijauhkan dari segala sesuatu yang indah, kata-kata
yang biasanya hanya kita lihat di dinding-dinding dibelakang stasiun atau di
pasar, kini diulang-ulangi dalam apa yang disebut sastra, diteriakkan di muka
radio dan televise. Bandingkan misalnya film televise Madame Bovary
(berdasarkan karangan Flaubert pada pertengahan abad yang lalu) dan “ Lost
tango in Paris”.
Dalam “Madame Bovary” tema asmara dilukisakan
sebagai suatu yang romantis dan merayu, biarpun haram, dalam “Lost tango in Paris” sebagai sesuatu
yang percuma tanpa makna, tanpa tujuan.
Hanya di dunia Baratlah
gejala-gejala serupa itu kelihatan? Kita telah perlu mencari jauh-jauh.
Ambillah sebagai contoh “Nyanyian angsa’ dan “khotbah” karangan Rendra. Kita
digemparkan dalam pendapat dan perasaan tradisional, apabila dalam perasaan
keagamaan. Efek shock memang dimaksdukan dan efek shock kita alami. Ingat akan
sajak – sajak Sutardji Calsum Bachri. Aneh bukan ? Siapa yang dapat mengerti?
Prof. teeuw pernah menulis “… dalam sastra modern kebebasan dan kebutuhan para
seniman untuk merombak sistem sastra jauh lebih besar dan lebih radikal (yakin
sampai akarnya) daripada di zaman lampau… pengarang sekarang secara insaf dan
sadar merombak sistem, membebaskan diri dari ikatan konvensi, dari ikatan
sistem bahasa dan sastra “.
Khusus untuk memahami sastra
modern yang sering ‘aneh’ itu Jurij Lotman mengajukan teorinya mengenai dua
jenis Estetika; untuk mendekati sastra tradisional hendaknya kita pakai
estetika keselarasan, sedangkan untuk memahami sastra (dan seni) modern perlu
kita perhatikan estetika Pertentangan.
Seni tidak identik
dengan keindahan. Dalam menghadapi sebuah karya seni tidak hanya kategori
keindahan yang bergetar dalam hati seorang penonton, melainkan
kategori-katoegori lainnya juga. Perasan estetik hanya merupakan sebagai saja
dari perasaan seni. Sebuah patung klasik Yunani menimbulkan rasa lain daripada
sebuah patung dari suku asmat. Dalam filsafat seni klasik di Barat sejak zaman
Yunani sudah disebut adanya unsur mulia dan elok, unsur tragis dan komis, unsur
indah dan jelek.
…selaras tidak selalu
merupakan satu-satunya pedoman untuk menimbulkan efek estetik, bahkan bahwa
penyimpangan menambah efek estetik.
Dalam menjelajahi
gejala-gejala seni modern mungkin masih ada satu faktor lain yang menyebabkan
seorang pengamat tradisional tidak selalu dapat menangkap maksud sang seniman,
sehingga terjadi semacam “kortsluiting”. Generasi muda sering menglami
frustrasi dan kelesuan, mengalami ketidak mampuan untuk berkomunikasi dengan
dunia sekitarannya, apabila dengan angkatan yang lebih tua. Menurut fisafat
personalistik yang antara lain diwakili oleh Gabriel Marcel, kemampuan untuk
dapat berkomunikasi dengan orang lain, sehingga tercapai suatu perjumpaan
sungguh-sungguh antara aku dengan engkau, merupakan puncak kebahagiaan bagi
seorang manusia. Dan sebaliknya, ketidakmampuan untuk melakukan komunikasi itu
dapat menjadikan hidup kita bagaikan neraka (sartre) . Manusia ingin
berkomunikasi, tetapi itu tidak mungkin, segala usaha kea rah itu terbentur
pada tembopk-tembok, setiap orang tertutup dalam dirinya. Itulah sebabnya
mengapa manusia melakukan gebrakan-gebrakan , ingin menggempar tembok-tembok
yang memisahkan kita dari kita. Tanpa gebrakan itu tidak mungkin, tanpa
gebrakan orang lian tidak memperhatikannya. Mungkin latar belakang ini juga mempengaruhi
seni modern.
silahkan di komntari...
BalasHapus